[EBI] Hari masi pagi. Mentari pagi baru saja terbit dari peraduanya di ufuk timur. Cahayanya menembus masuk ke rumah-rumah warga melalui jendela, fentilasi dan celah-celah rumah. Pagi itu, burung-burung kecil di luar rumah pun bersahut-sahutan, seakan berlombah menyanyikan lagu merdu nan indah. Bungah-bungah di pekarangan pun tidak mau tinggal diam. Mereka seakan ikut serta meramaikan suasana pagi dengan memamerkan warnanya yang anggun: merah, biru, jingah, dan beragam warna lainya.
Sementara itu, seorang mekluk muda belum juga bangun dari tidurnya. Ia masi tertidur lelab dibuai mimpi. Sebenarnya ia tidak biasa seperti ini. Biasanya ia bangun lebih pagi dari yang lainya. Tetapi pagi ini, ia tidak bangun menyambut pagi yang indah itu. Semalam ia begadang mengerjakan tugas, akibatnya ia terlambat bangun.
Sementara itu, seorang mekluk muda belum juga bangun dari tidurnya. Ia masi tertidur lelab dibuai mimpi. Sebenarnya ia tidak biasa seperti ini. Biasanya ia bangun lebih pagi dari yang lainya. Tetapi pagi ini, ia tidak bangun menyambut pagi yang indah itu. Semalam ia begadang mengerjakan tugas, akibatnya ia terlambat bangun.
Mama Yakomina, mama dari anak muda itu merasa heran melihat tingkah anaknya pagi itu. “Ah, Pilemon belum bangun ka?” pikirnya dalam hati. Lantas ia bergegas menuju kamar tidur Pilemon.
“Pilemon, ko bangun dulu, su stengah tujuh ni” kata mamanya agak berteriak seraya mengetuk pintu kamar tidur anaknya itu. Pilemon tidak membalas. Tampaknya ia masi tidur sehinga tidak mendengar. Mama Yakomina membuka pintu kamar, hendak melihat apa yang sebenarnya terjadi pada anaknya itu. Benar. Anaknya itu masi tertidur.
“Pilemon, ko bangun dulu, ko mau kesekoalh tidak?” sahut Mama Yakomina sambil mengoyang tubuh anaknya yang sedang tertidur itu.
Mengalami perlakuan demikian, Pilemon terbangun. “Su jam berapa ka?” tanyanya sambil membersikan mukanya yang masi kantuk seraya duduk. “Sebentar lagi jam tujuh. Ko terlambat ke sekolah nanti tu?” balas mamanya.
“Ah, mama ni, kenapa tra kasi bangun dari tadi.” Balas Pilemon agak jengkel. Ia lantas bergegas ke kamar mandi. Ia tahu, ia pasti terlambat jika tidak bergerak cepat mengejar waktu yang terus berlari kecil itu.
“Anak sekolah tu, harus bangun cepat.” Balas mamanya. Tetapi Pilemon tidak menghiraukan.
Sepuluh menit kemudia, ia suda berpakayan rapi. Pagi itu ia ‘mandi bebek’, mandi ala kadarnya, tidak pake sabun. Mengeringkan tubuhnya dengan handuk, mengganti baju, lalu memasukan barang-barnganya ke dalam tas sekolahnya. Sementra sepuluh menit lagi, jarum jam akan menunjukan pukul tujuh pagih. Tea hangat yang telah dibuat oleh mamanya tidak ia minum. Ia langsung berpamitan untuk berangkat ke sekolah. Ia harus menempu satu kilo meter lebih untuk tiba di sekolah. Dua ratus meter awal, ia harus berjalan kaki, setelah itu menumpangi angkot untuk ke sekolah.
Ia tingal di sebuah jalan kecil yang belum diaspal pemerintah. Namanya jalan Siriwo. Sama seperit pagi-pagi sebelumnya. Pagi itu pun ia harus bejalan kaki sejauh dua ratus meter terlebih dahulu. Satu hal yang berubah pagi itu ialah langkah kakinya. Pagi itu langka kakinya ia percepat. Maklum, jika tidak demikian ia dipastikan akan terlambat.
Dua pul menit kemudian, lima menit sebelum lonceng pagi sebanyak tiga kali pertanda proses belajar mengajar disekolah berbunyi, ia suda sampai di pintu gerbang. Ia merasa senang karena tidak akan kena ganjalan pagi itu. sekolahnya itu sangat ketat memberikan sangsi bagi siswanya yang telambat.
“Selamat pagi pak Guru!” sapahnya menyampaikan salam pada guru piket yang suda berada di depan pintu gerbang yang telah dari tadi berdiri sambil memegang palu penoki lonceng sekolah.
“Selamat pagi!” balas paguru itu dingin. Pilemon bergergegas menuju kelasnya. Teman-temanya suda berada di sana. Ada yang asik ngobrol, ada yang membersikan papan tulis, ada pulah yang mengerjakan tugas yang belum sempat dikerjakan semalam.
“Pilemon, ko suda kerjakan tugas Bahas Indonesia?” Tanya salah satu temanya. “Tugas membuat karangan tu?” tamba yang lainnya lagi. Maklum, Pilemon adalah anak yang tergolong pintar. Ia sering dijadikan tempat bertanya bahkan rujukan oleh teman-temannya.
“Bah, lambat ka. Suda to.” Balas Pilemon entang. “Masa buat tugas begitu saja kam tara bisa tu.” Tambahnya lagi.
“Lihatkah, z belum ni” kata temanya itu ingin melihat hasil pekerjaan Pilemon. Tetapi Pilemon tidak mau memperlihatkan tugasnya. Walau pun ia terus didesak, ia tetap bersikeras, tidak mau memperlihatkan tugas membuat artikel ilmiah tentang salah satu permasalahan sosial di kotanya itu. Baginya, membuat tugas ini adalah hal yang tidak mudah. Ia tidak mau memberikannya bigitu sajah pada teman-temanya.
Kumpul Tugas
Lonceng pun berbunyi pertanda sebentar lagi pelajaran akan dimulai. Hari itu menurut jatwal pelajaran, pelajaran pada jam pertama dan kedua adalah Pelajaran Bahasa Indonesia. Itu artinya, Pilemon dan teman-temannya harus mengumpulkan tugas mengarannya pada jam pertama.
Satu menit lonceng berbunyi pak guru Bahasa Indonesia masuk ke ruang kelas sambil menenteng tasnya. “Selamat pagi Pak Guru!” sahut murid-murid, Pilemon dan teman-temanya serempak. “Selamat pagi!” balas pak guru.
“Suda buat tugas?” katanya bertanya pada para siswa membuka pelajaran pada pagi itu. “Suda pak Guru” jawab beberapa siswa kompak. “membuat karangan itu hal yang tidak mudah pak guru.” Balas yang lain. “Jadi kami kerjakan sebisa kami”
Pilemon sendiri memilih diam sambil sesekali tersenyum. Baginya, ia suda mengerjakan. Walau pun sulit, ia suda berusaha mengerjakannya dengan sedikit keberanian. Ia merasa Yakin, ia akan mendapat nilai yang bagus. Ia sudah melakukan obserfasi singkat di lapangan, membaca beberapa tulisan menyangkut tema yang ia tulis sebagai bahan referensi, lalu berusaha mengerjakannya. Ia yakin tulisannya akan mendapat nilai yang bagus. Bahkan tulisanya itu akan masuk Koran sesuai janji pak gurunya itu, tulisan yang bagus akan di muad di koran lokal yang terbit di kota itu.
“Ya suda, kita harus tetap menjalankan kesepakatan. Kalian berjanji akan mengerjakannya dalam satu minggu. Jadi Pak guru kira, kita akan belajar konsisten untuk komitmen terhadap kesepakatan yang kita buat.” Balas pak guru menjelaskan. “Jadi saya minta, kalian semua mengumpulkan tugas itu sekarang”
Satu per satu dari siswa dalam kelas itu maju mengumpulkan tugas itu. Dimalai dari siswa yang duduk paling depan dan berakhir dengan Pilemon, anak yang selalu duduk di kursi paling sudut di bagian belakang dalam ruangan di kelas itu. Pak Guru berdiri didepan ruangan sambil mengumpulkan lembaran kertas HVS dari murid-miridnya.
Sesusainya pak guru membagikan sebua foto kopian artikel Ilmia populer yang ia kutip dari sebuah koran nasional. “Artikel ini bagus. Kita akan belajar banyak hal dari artikel ini.” katanya sambil berjalan membagikan artikel itu kepada murid-muridnya. Ia mengajak murid-muridnya menemukan tema karanggan, sudat padang penulis, kesatuan gagasn dalam karangan, bagian pembuka, isi, dan kesimpulan dari karangan itu. Ia meminta, satu setengah jam pertama di gunakan untuk mengerjakan tugas itu.
Mereka boleh berdiskusi antas teman satu meja, tetapi tidak boleh dengan teman di mejah lain.
Pilemon duduk sebanguku dengan Yohana, seorang gadis cantik di kelasnya. Selepas mendengar penjelasan pak guru, keduanya tengelam dalam bacaan. Lalu mendiskusikannya bersama-sama. Hal serupa juga dilakukan oleh teman-temanya yang lain. Sementara pak guru, kembali duduk di bangkunya yang teletak didepan kelas, seraya memembaca karangan yang baru di buat anak –anak muridnya itu.“Kita liat, tulisan siapa yang bisa masuk koran.” Katanya.
Satu jam lebih telah berlalu, pak guru suda membaca dua pulu lima karangan yang dikumpulkan pagi itu. sementar anak-anak murid suda selesai mengerjakan tugas. Tiga puluh menit lagi lonceng istirahat akan berbunyi. Pak guru berdiri lalu mengajak murid-murid untuk membahas tugas yang sudah mereka buat. Kegiatan itu berlangsung kira-kira selama dua puluh menit. Pak guru meresa senang karena hampir semua sisiwa suda memahami pelajaran yang ia berikan.
Pada akhrir pelajaran, lima menti sebulum ia meningkalkan kelas, pak guru memegang lembaran-lembaran kertas, tempat anak-anaknya menulis tugas aritkle ilmiah populer itu. Sementara hati pilemon mulai dak-dakan. Ia agak gugup. Ia agak tidak yakin, artikel yang ia buat akan menjadi salah satu artike terbaik dan akan di muad di koran.
“Pak guru suda membaca selurh karang kalian. Isinya relative bagus.” Katanya. Sesaat ruangk kelas menjadi sepi. Semua pasang telingngah dalam kelas itu antusias mendengarkan. “Tapi, hanya dua dua karangan yang layak pak guru coba kirmkan ke media Lokal.” Katanya lagi. Jatung pilemon kembali berdetak kecang. “dua karang itu, di tulis oleh, Novita dan Fransiskus.”
Semau pasang mata melihat kea arah dua manuasia muda yang baru saja dinobatkan jadi bintang itu. kedunya terseyum bangga. Sementara Pilemon, menoki testanya sambil bertanya dalam hati, “ah, masa saya punya tidak tu. Z suda buat baik-baik baru.’’ Pilemon tidak percaya dengan hal itu. Lantas bertanya, “apa yang salah e.” Pal Guru lalu menyeuruh karangan milik Novita dan Frasnsiskus itu untuk diketik.
Rupanya, analisis yang di buat oleh Pilemon atas masalah yang ia tulis kurang bagus. Terdapat gagasan yang masi rancuh antar landasan terori dan realitas sosial yang ia garap. Pak Guru menunjukan semua kesalahan itu pada pilemon sewaktu jam istriahat sekolah ketika Pilemon menanyakan hal itu di ruang guru selepas pelajaran Bahasa Indonesia. Selain itu masi terdapat pemakayan tanda baca yang tidak tepat dalam karangan Pilemon. Hal ini mengakibatkan tulisanya menjadi ambigu. Pak guru menunjukan semuah itu.
“Benar sekali Pak Guru. Terimakasi suda koreksi.” Kata pilemon. “Mungkin saya kerjakan dengan buru-buru jadi. Tadi malam dalam keadaan mengantuk saya baru kerjakan. Mungkin analisanya agak rancu, karena waktu kerja otak kurang fres jadi” katanya lagi. Pantas saja, Pilemon baru selesai buat tugas jam setegah tiga. ***
Ketentuan Berkomentar:
1. Harus Mengunakan Akun Google
2. Tidak Boleh membuat komentar Spam
3. Anda Sopan, Kami Segan
4. Terimakasi-Terimakasi-Terimakasi
Begitu Sudah!
EmoticonEmoticon