6/6/11

Seperti Pak Guru!


        Siang itu pak guru mata pelajaran Bahasa Indonesia ingin menguji kami. Ia ingin tahu apakah kami telah menguasai pelajaran Bahasa Indonesia yang ia berikan dua kali dalam semingu itu. Ia menguji kami dengan mengadakan ulangan. Ia pasti berharap kami semua mendapat nilai yang baik. Jika kami mendapat nilai yang baik, itu artinya kami telah menguasai pelajarannya itu. Saat itu saya masih duduk di kelas dua SMP.

        Dari logat bicaramya, setiap orang yang pertama kali berkenalan dengann Pak Guru Bahasa Indonesia itu pasti langsung menebak kalau ia berasal dari Suku Batak. Dari Postur tubuh dan rawut wajanya pun kelihatan kalua ia orang Batak. Badanya tegap, tinginya rata-rata seperti pria Indonesia lainya. Kumisnya tipis di bibirnya. Tampak, Ia selalu menyukurnya dengan rapi. Tatapan matanya pun tajam.
Hampir semua murid mengenalnya. Jabatanya pada waktu itu sebagai wakasek kesiswaan. Tugasnya menanggani siswa yang bandel. Teman-teman biasanya menyebutnya ‘Pak Guru Sinaga.’ Selain kerena killernya dalam menangani siswa, Pak Guru itu pun bermarga Sinaga, salah satu marga asal suku Batak. Walaupun sibuk ia selalu hadir untuk mengajar di kelas kami dan berberapa kelas lainya.
“Kalian sudah siap mengikuti ulangan” katanya, membuka pelajaran pada hari itu. Satu minggu sebelumnya ia telah menghimbau bahwa hari ini ia akan mengadakan ulangan Bahasa Indonesia. Kami tentu saja telah siap mengikuti ujian tersebut.
“Sudah Pak Guru!” balas kami kompak.
Pak guru itu jarang mencatatat di papan tulis. Ia lebih suka mendikte jika memberikan catatan. Ia membaca teks, kami mencatat. Kadang kali, ia menugaskan salah satu di antara kami, para murid untuk mencatat di papan tulis.
Begitu pula dengan siang itu. ia tidak mencatatat soalnya di papan tulis. Ia membaca, kami mencatat. Pak guru itu tergolong galak. Ia suka menegur siswa yang tidak mendengarkan ucapannya. Kami tau itu. Kami pun mendengar baik-baik ucapan mulutnya. Siang itu, semua teman saya dalam ruangan sepertinya tidak mau buat kesalahan saat mencatat. Semua mata cermat mencatat. Sepuluh soal terucap dari mulut Pak Sinaga. Semua harus kami kerjakan.
Kini kami harus mengerjakan soal-soal itu. Beberapa teman mulai garuk-garuk kepala, sebagiannya lagi tersenyum- senyum. Sebagaian lagi katakana “yes,yes.” Sebagian lagi mulai menarik-narik jarinya sendiri dengan maksud merenggangkan tulang-tulang jarinya yang kelelahan karena harus mencatatat sepuluh soal dalam lima belas menit tampa henti.
Ada yang mulai mengeluh. Katanya soal yang diberikan terlalu sulit untuk dijawab. Ada lagi yang mengaangap soal-soal itu mudah. Saya sendiri menganggap soalnya sangat mudah, tetapi jawabanya sangat sulit.

Melihat kami bertingkah seperti itu, pak guru berseruh, “Ayo, mulai dikerjakan! Waktu kalian sampai pukul sebelas tiga puluh, tiga puluh menit sebelum jam istirahat. Tiga puluh menit sisa akan kita gunakan untuk mebahas soal-soal ulangan.”
Dalam sekejab ruangan kelas kami berubah sepih. Suasanah hening pun tercipta. Ruangan kelas kami berubah jadi sunyi. Tidak ada satu kutu busuk pun yang berbisik-bisik apalagi sampai membuat gaduh. Saya yang selalu duduk di kursi paling belakang dalam kelas dapat melihat, semua teman-teman dalam ruangan itu sibuk berpikir, membuka file-file dalam kepala masing-masing untuk menjawab soal-soal itu. Sementara pak guru bersandar sambil duduk di kursi yang terletak paling depan di ruangan kami.
Tiba-tiba saja,
“Basten!” seru pak guru memecahkan kesunyian bagai petir yang menyambar disiang bolong.
“Ya Pak Guru!” Jawab Basten kaget. Basten adalah teman sekelas saya. Ia adalah salah satu peserta dalam ujian, siang itu.
“Kamu kenal Elia, anak kelas III C yang tingal di Kali Bobo?” Tanya Pak Guru. Pak Guru menanyakan Elia yang tidak masuk sekolah beberapa hari terakhir ini.
“Iya, saya mengenalinya, Pak Guru. Elia satu kompleks dengan saya.” Kata Basten menjawab.
Basten tinggal di Kali Bobo, begitu juga dengan Elia. Mungkin mereka berdua tetanggahan. Elia adalah kaka kelas kami.
“Kenapa beberapa hari ini ia tidak masuk sekola? Ada apa dengannya?”
“Ada orang yang meningal di rumahnya, pak guru?”
Mendengar jawaban itu, pak guru tersentak. Pak guru agak kaget. Ia tidak menduga akan mendapat jawaban seperti itu. “Mengapa Elia tidak melapor ke sokolah”
“Tidak tau Pak Guru” jawab Basten, singkat.
Pak guru terdiam. Ruangan kembali tenang. Berberapa murid dalam kelas itu mengangguk menyaksikan percakapan itu. Ada yang paham apa maksud percakapan kedua individu itu, ada juga yang bingung, tidak mengerti.
Entah apa lagi yang melintas dalam kepalahnya. Pak Guru Sinaga kembali melontarkan pertanyaan kepada Basten.
“Orang yang meningal itu kira-kira berapa umurnya? Dan seperti siapa ia?”
“Seperti…………” Basten agak ragu menjawab.
“Seperi siapa, Basten?”
“Seperti…, seperti,…., Seperti…….?”
Semua pasang mata dalam ruangan itu melongoh pada Basten. Basten agak bingung menjelaskannya. Ia mungkin agak takut melihat mata teman-temannya yang tertuju padanya itu. Ia seakan tidak menemukan kata yang pas untuk mengambarkan umur dari orang yang meningal itu. “Basten, seperti siapa?, pak guru Tanya tu” celetuk seorang teman.
“Basten, seperti siapa kah?” Tanya pak guru lagi seakan sudah kelelahan bertanya.
“Seperti Pak Guru!” jawab Basten dengan suara yang agak keras sambil menunjuk pak guru.
Pak Guru terkejut mendengarkan anak muridnya itu. “Astaga Naga!” katanya.***

Ketentuan Berkomentar:
1. Harus Mengunakan Akun Google
2. Tidak Boleh membuat komentar Spam
3. Anda Sopan, Kami Segan
4. Terimakasi-Terimakasi-Terimakasi

Begitu Sudah!
EmoticonEmoticon