Siang itu pak guru mata pelajaran Bahasa Indonesia ingin menguji kami.   Ia ingin tahu apakah kami telah menguasai pelajaran Bahasa Indonesia   yang ia berikan dua kali dalam semingu itu. Ia menguji kami dengan   mengadakan ulangan. Ia pasti berharap kami semua mendapat nilai yang   baik. Jika kami mendapat nilai yang baik, itu artinya kami telah   menguasai pelajarannya itu. Saat itu saya masih duduk di kelas dua SMP.
Dari logat bicaramya, setiap orang yang pertama kali berkenalan dengann Pak Guru Bahasa Indonesia itu pasti langsung menebak kalau ia berasal dari Suku Batak. Dari Postur tubuh dan rawut wajanya pun kelihatan kalua ia orang Batak. Badanya tegap, tinginya rata-rata seperti pria Indonesia lainya. Kumisnya tipis di bibirnya. Tampak, Ia selalu menyukurnya dengan rapi. Tatapan matanya pun tajam.
Hampir   semua murid mengenalnya. Jabatanya pada waktu itu sebagai wakasek   kesiswaan. Tugasnya menanggani siswa yang bandel.  Teman-teman biasanya   menyebutnya ‘Pak Guru Sinaga.’ Selain kerena killernya dalam menangani   siswa, Pak Guru itu pun bermarga Sinaga, salah satu marga asal suku   Batak. Walaupun sibuk ia selalu hadir untuk  mengajar di kelas kami dan   berberapa kelas lainya. 
“Kalian   sudah siap mengikuti ulangan” katanya, membuka pelajaran pada hari  itu.  Satu minggu sebelumnya  ia telah menghimbau bahwa hari ini ia akan   mengadakan ulangan Bahasa Indonesia. Kami tentu saja telah siap   mengikuti ujian tersebut. 
“Sudah Pak Guru!” balas  kami kompak.
Pak   guru itu jarang mencatatat di papan tulis. Ia lebih suka mendikte jika   memberikan  catatan. Ia membaca teks, kami mencatat.  Kadang kali, ia   menugaskan salah satu di antara kami, para murid untuk mencatat di  papan  tulis. 
Begitu   pula dengan siang itu. ia tidak mencatatat soalnya di papan tulis. Ia   membaca, kami mencatat. Pak guru itu tergolong galak.  Ia suka menegur   siswa yang tidak mendengarkan ucapannya.  Kami tau itu. Kami pun   mendengar baik-baik ucapan mulutnya. Siang itu, semua teman saya dalam   ruangan sepertinya tidak mau buat kesalahan saat mencatat. Semua mata   cermat mencatat. Sepuluh soal terucap dari mulut Pak Sinaga. Semua harus   kami kerjakan.
Kini   kami harus mengerjakan soal-soal itu. Beberapa teman mulai garuk-garuk   kepala, sebagiannya lagi tersenyum- senyum.  Sebagaian lagi  katakana   “yes,yes.”  Sebagian lagi mulai  menarik-narik jarinya sendiri   dengan   maksud merenggangkan tulang-tulang  jarinya yang kelelahan karena  harus  mencatatat sepuluh soal dalam lima belas menit tampa henti.
Ada   yang mulai mengeluh. Katanya soal yang diberikan terlalu sulit untuk   dijawab. Ada lagi yang mengaangap soal-soal itu mudah.  Saya sendiri   menganggap soalnya sangat mudah, tetapi jawabanya sangat sulit.
Melihat   kami bertingkah seperti itu, pak guru berseruh,  “Ayo, mulai   dikerjakan! Waktu kalian sampai pukul sebelas tiga puluh, tiga puluh   menit sebelum jam istirahat. Tiga puluh menit sisa akan kita gunakan   untuk mebahas soal-soal ulangan.”
Dalam   sekejab ruangan kelas kami berubah  sepih. Suasanah hening pun   tercipta. Ruangan kelas kami berubah  jadi sunyi. Tidak ada satu kutu   busuk pun yang  berbisik-bisik apalagi sampai membuat gaduh. Saya yang   selalu duduk di kursi paling belakang dalam kelas dapat melihat, semua    teman-teman dalam ruangan itu sibuk berpikir, membuka file-file dalam   kepala masing-masing untuk menjawab soal-soal itu. Sementara pak guru   bersandar sambil duduk di kursi yang terletak paling depan di ruangan   kami.
Tiba-tiba saja, 
“Basten!” seru pak guru memecahkan kesunyian bagai petir yang menyambar disiang bolong.
“Ya Pak Guru!” Jawab Basten kaget. Basten adalah teman sekelas saya. Ia adalah salah satu peserta dalam ujian, siang itu. 
“Kamu   kenal Elia, anak kelas III C  yang tingal di Kali Bobo?”  Tanya Pak   Guru. Pak Guru menanyakan Elia yang tidak masuk sekolah beberapa hari   terakhir ini. 
“Iya, saya mengenalinya, Pak Guru. Elia satu kompleks dengan saya.” Kata Basten menjawab.
 Basten tinggal di Kali Bobo, begitu juga dengan Elia. Mungkin mereka berdua tetanggahan. Elia adalah kaka kelas kami. 
“Kenapa beberapa hari ini ia tidak masuk sekola? Ada apa dengannya?”
“Ada orang yang meningal di rumahnya, pak guru?”
Mendengar    jawaban itu, pak guru tersentak. Pak guru agak kaget. Ia tidak  menduga  akan mendapat jawaban seperti itu. “Mengapa Elia tidak melapor  ke  sokolah”
“Tidak tau Pak Guru” jawab Basten, singkat. 
Pak   guru terdiam.  Ruangan kembali tenang.  Berberapa murid dalam kelas  itu  mengangguk menyaksikan  percakapan itu.  Ada yang paham apa maksud   percakapan kedua individu itu, ada juga yang bingung, tidak mengerti.
Entah apa lagi yang melintas dalam kepalahnya.  Pak Guru Sinaga kembali melontarkan pertanyaan kepada Basten.
“Orang yang meningal itu kira-kira berapa umurnya? Dan seperti siapa ia?” 
“Seperti…………” Basten agak ragu menjawab. 
“Seperi siapa, Basten?”
“Seperti…, seperti,…., Seperti…….?”
Semua   pasang mata dalam ruangan itu melongoh pada Basten.  Basten agak   bingung menjelaskannya. Ia mungkin agak takut melihat mata   teman-temannya yang tertuju padanya itu. Ia seakan tidak menemukan kata   yang pas untuk mengambarkan umur dari orang yang meningal itu. “Basten,   seperti siapa?, pak guru Tanya tu” celetuk seorang teman.
“Basten, seperti siapa kah?” Tanya pak guru lagi seakan sudah kelelahan bertanya.
“Seperti Pak Guru!”  jawab Basten dengan suara yang agak keras sambil menunjuk pak guru.
Pak Guru terkejut mendengarkan anak muridnya itu.  “Astaga Naga!” katanya.***
Ketentuan Berkomentar:
1. Harus Mengunakan Akun Google
2. Tidak Boleh membuat komentar Spam
3. Anda Sopan, Kami Segan
4. Terimakasi-Terimakasi-Terimakasi
Begitu Sudah!
EmoticonEmoticon