Masyarakat Panen Hipere |
Ketergantungan orang papua terhadap beras sangatlah besar. Padahal, beras bukanlah makanan khas Papua. Ubi-ubian, sagu dan jagung yang adalah makanan pokok khas Papua. Tapi sayang makanan pokok ini telah digantikan oleh beras.
Alasannya macam-macam. Mulai dari alasan aneh soal kesuburan tanah, sampe dengan alasan klasik kemalasan bertani. Tetapi alasan yang paling santer ialah akibat adanya upaya sistematis, melalui program bantuan raskin atau bantuan beras untuk masyarakat miskin.
Pemerintah mengangap orang Papua ialah orang miskin. Jadi harus diberi bantuan beras. Beras dipilih karena tahan lama, dan mudah dipindah dari satu tempat ke tampat yang lain. Akibatnya, berton-ton beras didrop ke kampung-kampung di seantero Papua. Mulai dari pesisir pantai sampe dengan pedalaman. Mulai dari kota-kota sampe dengan dusun-susun.
Orang Papua pun beralih dari mengkonsumsi umbi-umbian dan sagu kepada mengkonsumsi beras yang suda dimasak-nasi. Belum lagi setelah alih fungsi hutan sagu secara besar-besaran yang semakin marak. Apalagi setelah program RESPEK yang menghamburkan banyak uang ke kampung-kampung Papua tanpa pendampingan. Dengan uang, dan penetrasi beras yang meraimaikna kios-kios di pasar, orang Papua ramai-ramai memborong beras. Sunguh menghawatirkan.
Ditengah kekawatiran itu, tersiar kabar baik dari pegunungan tengah Papua. Seperti yang dilaporkan Cepos 24 Agustus 2012, Masyarakat Kampung Kumima, Distrik Kurulu, Kabupaten Jayawijaya melakukan panen raya Hipere (Ubi) seluas tiga hektar. Sebuah prestasi yang patut diberi jempol.
Yang lebih membangakan lagi ilalah, ternyata keberhasilan ini ialah bagian dari upaya dan kerja keras pemerintah distrik Kurulu bersama dengan masyarakat. Mereka membentuk kelompok tani dalam melaksanakan usaha tani.
“Kami dorong masyarakat membuat kebun Hipere seluas mungkin untuk menjaga ketersediaan pangan di masyarakat, mengigat saat ini fenomena sebagian besar warga masyarakat mulai ketergantungan kepada beras rakyat miskin. Ketergantungan ini sangat berbahaya dan bisa mengakibatkan terjadinya kelaparan warga,” Kata Yuda Dafarius Daby, kepala Distrik Kurulu kepada Cepos.
Ini artinya ada perubahan pola pikir pemerintah daerah dan masyarakat. Dari yang tadinya bergantung terhadap raskin, kini kembali lagi kepada Ubi. Dari yang tadinya bergantung kepada dana Bandes (bantuan pedesaan) kini kembali lagi kepada budaya bertani untuk tetap bertahan hidup.
Ini juga menunjukan bahwa masi banyak sarjana-sarjana Papua yang peka melihat ancaman dan potensi yang ada didepan mata. Sekaligus mampu mengunakan posisinya dalam pemerintahan untuk melakukan pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks berita diatas, prestasi ini ialah keberhasilan dalam upaya melakukan apa yang dilakukan dengan ketahan pangan melalui komoditi lokal.
Berharap agar prestasi ini juga ditiru oleh kampung-kampung lain tidak hanya di kampung kumima Kabupaten Jayawijaya saja tapi juga di seluruh kapung yang ada di Tanah Papua. Semoga juga tidak hanya pada komoditi batatas (ubi) saja tapi juga di komoditi yang lainya seperti singkong, keladi dan juga sagu dan jagung.
2 komentar
gg
Ketentuan Berkomentar:
1. Harus Mengunakan Akun Google
2. Tidak Boleh membuat komentar Spam
3. Anda Sopan, Kami Segan
4. Terimakasi-Terimakasi-Terimakasi
Begitu Sudah!
EmoticonEmoticon