Suatu ketika, saya melakukan percakapan dengan seorang sahabat via yahoo messenger. Sahabat saya itu bernama Agustina Dwiningtyas, ia adalah teman saya sewaktu masi SMA. Selama dua tahun, mulai dari kelas dua sampai kelas tiga kami belajar bersama di bangku SMA. Selepasnya, kami tidak lagi bersama-sama.
Dua tahun kemudia, setelah mendapat email sahabat saya itu, akhirnya kami bisa berjumpa lagi melalui dunia maya. Dalam percakapan itu ia bertanya pada saya dengan mengunakan logat papua yang khas,
“Kawan, ko kulia dimana sekarang?, ambil jurusan apa?”
Tyas adalah orang Jawa. Namun, kalau bicara, logat Papuanya kelihatan. Ia lahir dan besar di Nabire, Papua. Saya membalasnya singkat.
“ Saya kulia di universitas pakuan, mengambil jurusan Planologi?”
Sahabat saya itu sekarang berada di Jakarta. Ia kulia di Universitas Katolik Atma Jaya. Ia mengambil jurusan kedokteran. Berkat otaknya yang encer, sekaligus nasipnya yang mujur, ia mendapat beasiswa dari pihak universitas untuk mengikuti kulia di Program kedokteran. Konon katanya, kesempatan ia peroleh itu ialalah mujizad. Doa Rosario yang ia panjatkan di kabulkan.
“Wou….. ko hebat kawan?” katanya lagi. “Ko bisa ambul jurusan langka tu tra gampang. Trus, di jurusan planologi, kamu suda belajar tentang pohon-pohon apa saja?” Tanyanya penasaran.
Apa, Pohon? Saya agak kaget mendapat pertanyaan itu. Dalam hati, saya tertawa geli. Masa Ia artikan Planologi adalah ilmu yang memperlajari tentang pohon-pohon. Bukankah ilmu yang mempelajari tentang pohon di sebut ARBORICULTURAL atau Geografi Tumbuhan. Tetapi kemudia, saya sadar. Sahabat saya itu bertanya demikian karena satu alasan, ia sama sekali tidak tahu apa itu planologi. Oleh karena itu saya tidak pantas menertawakannya. Ia bertanya karena ia tidak tau. Tugas saya hanya satu, menjelaskan.
Saya berusaha menjelaskan sesuai dengan apa yang saya pahami. Kawan Planologi itu bukan ilmu yang mempelajari berbagai jenis pohon. Plaonolog itu ilmu tentang perencanaan wilayah dan tata kota. Saya belajar bagaimana menata sebua wilayah dan kota dengan memerhatikan berbagai aspek. Baik itu sapek sosial, ekonomi, budaya maupun keadaan fisik suatu wilayah. Memang, dalam perencanaan wilayah dan kota pelajaran kami lebih dititik beratkan kepada asperk fisik keruangan, tetapi, kami tidak bole menyepelekan aspek ekonomi, sosial, budaya dari ruang yang kami tata. Karena ruang kota dan wilayah sesunguhnya hanyalah wada bagi manusia melangsungkan kegiatan ekonomi, sosial dan budaya.
Ou, begitu to. Turs apalagi, saya ingin tau ni?
Ya, jadi kami belajar untuk melakukan perencanaan agar meminimalisir dampak buruk dari suatu permbangunan. Atau dengan kata lain, kami berusaha melakukan penataan yang memberikan maamfaat bagi semua pihak.
Pembangunan itu pada dasarnya sebuah upaya terorganisr yang dilakukan secara sisitematis oleh manusia agar kehidupan manusia itu sendiri menjadi lebih baik dan lebih berkelanjutan. Jika kita bicara tentang organisir tentu saja ada upaya perencanaan di situ. Perencanaan itu sendiri bisa meliputi banyak aspek. Yang kami pelajari adalah perencanaan wilayah dan kota. Atau dengan kata lain, kami membahasa masalah perkotaan dalam kaitannya dengan wilayah.
Di lain pihak, sumberdaya alam yang kita milik ini sesunguhnya terbatas. Jika terus dieksploitasu lama kelamaan akan bisa habis juga. Oleh karena itu, kita harus melakuan perencanaan agar SDA yang kita miliki tidak langsung dieksploitasi.
Ouw, gitu ya. Berarti kalian belajar semua ilmu k?
Ya, benar sekali kawan. Pada dasarnya planologi ialah ilmu aplikatif yang mengabungkan berbagai macam disiplin ilmu. Singkat kata, Planologi itu multi disiplin ilmu. Mulai dari geografi, ekologi, statistic, ekonomi, sosiologi, phisikologi, dan sosial dan juga budaya serta ilmu pemetaan. Planolog yanb baik di tuntut untuk memiliki pengetahuan yang cukup tentang berbagai disiplin ilmu itu, tentunya dengan menitik beratkan pada perencanaan wilyaha dan kota.
O, begitu. Baik suda kawan, ko belajar baik suda biar pulang bisa atur kota nabire. Katanya mengakhiri pembicaraan.
PADA KESEMPATAN yang lain, saya melakukan percekapan dengan Ones Madai. Ia adalah sahabat saya. Ia saat ini sedang kulia di Surabaya dengan mengambil program studi yang sama dengan saya, Planologi. Dalam percakapan itu, ia bilang ia akan kembali ke Papua dalam waktu dekat untuk melakukan penelitaan. Lokasi yang ia tujuh adalah pulau Duamo, sebuah pulau yang terletak di kaki gunung deyai, tepatnya di Danau Tigi.
Ia bilang, ia ingin mengembangkan pulau ini menjadi sebua objek wisaata budaya dan religi. Ia berharap agar pulai ini bisa memberikan semacam nilai tamba ekonomi bagi masyarakat yang hidup di pingiran Danau Tigi.
Saya sendiri belum perna ke pulai ini. Tetapi saya suda mendengar beragam cerita tentang pulau duamo. Katanya pulai ini menyimpan kecantikan dan keindahan alam yang menakjupkan. Pulau ini juga menyimpan objek wisata religius.
Dalam percakapan via yahoo messenger itu ia menanyakan pendapat saya. “Bagaimana menurut kawan? Saya mau melakukan penelitian di pulau duamo, katanya.”
Saya berpikir sejenak. Saya belum menjadi ahli planologi. Saya juga masi dalam prose belajar. Jadi saya coba menjawabnya singkat. Kawan, melakukan penilitian itu sah-sah saja. Cuma, kalu penelitian itu nantinya menghasilkan produk prencanaan berupa usulan pengembangan Pulau Duamo, satu hal yang harus dihindarkan Jangan sampai usaha yang kita buat justru memarjinalkan penduduk lokal, orang-orang kita sendiri.
Pengembangan Pulau Duamo harus bisa membawa mamfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar. Saat ini, kita bisa lihat, ada empat pulu kabupaten di atas Tanah Papua, tapi apakah semua itu membawa perubahan bagi orang asli Papua. Secara fisik ia. Di tanah Papua mulau muncul pusat-pusat ibu kota kabupaten. Tapi pusat-pusat ibu kota kabupaten ini juga membawa dampak buruk bagi orang papua. Orang Papua semakin tersingkir. Saya pikir, togas kita sebagai calon planolog papua ialah memikirkan agar meminimalisir atau bahkan mengeliminasi dampak –dampak itu. Ini pekerjaan berat.
Ia setujuh dengan pendapat saya. Ia bilang ia juga berpikir seperti itu. Dengan dibukanya kabupaten-kabupaten baru, arus migrasi sangat deras membanjiru tanah papua dan sulit dibendung. Dimana-mana kaum migrant itu militant. Mereka selalu lebih ungul dalam segalah hal. Mulai dari keterampilan yang mereka bawa dan juga modal yang mereka punya dan tentu saja ambisi untuk menguasai. Tugas kita untuk memikirkan semuahnya agar menghindari proses marginalisasi yang terus terjadi. (EBI)****
Ketentuan Berkomentar:
1. Harus Mengunakan Akun Google
2. Tidak Boleh membuat komentar Spam
3. Anda Sopan, Kami Segan
4. Terimakasi-Terimakasi-Terimakasi
Begitu Sudah!
EmoticonEmoticon