Showing posts with label PWK. Show all posts
Showing posts with label PWK. Show all posts

12/22/15

Masyarakat Menolak Perpanjangan Bandara Udara Nabire


Masyarakat menolak perbajangan bandara udara nabire. Bagi mereka, perpanjangan bandara udara nabire hanya akan mengangu kehidupan tiga kampung: Kampung Harapan, Karang Barat, dan Mapiduba.

Penolkan bandara udara nabire
Lapangan Terbang Nabire

Pemerintahan Kabupaten Nabire periode 2010-2015 beberapa waktu lalu mengumumkan delapan program prioritas dalam seratus hari pertama masa kerjanya. Salah satunya ialah perpanjangan Bandar Udara Kabupaten Nabire. Harapannya, bandara ini dapat membuka isolasi kabupaten nabire dan kabupaten-kabupaten lainya di pegunungan tengah Papua.
Program ini menimbulkan pro dan kontra. Soalnya proses perpanjangan bandara itu akan mengusur perumahan warga karang dan fasilitas sosial di lokasi yang menjadi area perpanjangan.

Pro dan kontra tidak hanya terjadi dikalangan elit kabupaten Nabire tetapi juga terjadi dalam segenap lapisan masyarakat. Terutama masyarakat tiga kampung (kampung harapan, karang barat, dan mapidoba) yang akan terkena dampak langsung adanya perpanjangan Bandar Udara Nabire.

Namun, Jika diamati dengan saksama, mayoritas masyarakat tiga kampung ini menolak perpanjangan bandara. Hanya sebagian kecil saja yang menerima program perpanjangan bandara. Itu pun dicurigai karena mereka diboncengi oleh kepentingan investor.

Penolakan

Seperti yang dilansir isiindonesia.com. Masyarakat tiga kampung tolak perpanjangan Bandar udara Nabire. Hal itu disampaikan mereka pada saat Bupati bersama dengan rombongan (kelompok kerja pelaksana 100hari kerja) yang menanggani masalah pengukuran lokasi perpanjangan bandara meninjau lokasi.

Penolakan terjadi karena masyarakat tiga kampung yang suda disebutkan diatas menolak untuk direlokasi ke tempat lain. Bagi mereka, tempat yang mereka huni selama bertahun-tahun suda seperti kampung halaman mereka sendriri.

“Kami warga tiga kampung ini sudah puluhan tahun tinggal di atas tanah ini dan kami sudah bersahabat dengan alam disini bahkan beranak cucu ditempat ini. Jadi, kami tidak akan tinggalkan tempat ini dan menolak rencana Pemda memperpanjang Lapter itu.” tutur salah satu warga.

“Pemerintah tidak perlu menggangu kami masyarakat dan kami juga tidak akan menganggu kamu, jadi kalau mau bangun daerah lihat dulu baik-baik. Bupati ini ingatkah tidak, ‘kitorang ini yang kasih dia suara banyak-banyak baro..?” Tambah yang lain.

Sementara itu, beberpa orang tua karang barat yang dihubungi kru Rechabar On-Line menyatakan hal yang sama. “Kami orang tua kompask su bilang bapa bupati. Kami tidak mau dipindahkan dari sini.” Kata salah satu orang tua via telpon.

Dipihak lain, anak-anak rekabar yang saat ini sedang kulia dan tersebar diberbagai kota study di Indonesia juga menyatakan hal yang sama. Pada intinya mereka menolak upaya tersebut.

Mereka melakukan diskusi melalui Group Facebook Rechabar On-Line. Rekabar menilai, kabupaten nabire masi luas. Kenapa tidak dibangun ditempat lain, di tempat yang belum ada penduduknya. Misalanya dikaladiri II, di lahan yang suda di sediakan oleh bupati periode sebelumnya. Bukankah Pembangunan adalah proses berkelanjutan.

Di pihak lain, program ini juga belum membuat study kelayakan dan study kepatutan. Seharusnya pemerintah melakukan hal ini agar mengetahui dampak sosial dan ekologi yang akan ditimbulkannya. 

Yang lebih ekstrim, Rekabar bahkan mengangap eksistensi rekabar jauh lebih penting dari segalahnya. Jika lapangan bandara dibangun otomatis hal ini akan menghapus nama rekabar dari kabupaten nabire. Jelas rekabar menolak program ini. “Sekali rekabar, tetap rekabar” kata salah satu dari mereka.
Dukungan Penolakan

Rupanya, penolakan tidak hanya datang dari rekabar. Menurut Informasi yang diterima oleh kru Rechabar on-line Pastor Paroki KSK Nabire pun menyatakan keberatannya. Menurutnya, jika lapangan diperpanjang, itu jelas akan mengusur umat paroki KSK di sekitar Kampung Harapan, Karang Barat dan Mapidoba. Yang mana, ketiga kampung ini adalah basis umat katolik Paroki KSK. Mereka selalu berpartisipasi aktif dalam kegiatan gereja.

Dipihak lain, perpanjangan Bandara ini juga akan mengngangu kegiatan peribadahan di Gerja KSK. Suara bising dari pesawat yang tingal landas di lapangan yang sekarang saja suda cukup mengangu ibada misa hari minggu. Apalagi Jika diperpanajang dan kemudian didarati oleh pesawat berukuran besar. Pasti umat katolik akan tergangu dalam misa hari minggu.

Tidak hanya itu, Papua Post Nabire melansir penolakan datang juga dari DPRD Kabupaten Nabire yang merupakan refresentatif dari masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh ketua tim lintas komisi, Yehuda Gobai dalam kaitanya dengan rencana perpanjangan Bandar Udara Nabire. 

“Sebagai wakil rakyat kami sudah mendengar adanya aspirasi ini, namun kami ingin melihat dan mendengar langsung. Kini kami telah tahu persis aspirasi masyarakat Karang Tumaritis. Pertemuan ini resmi. Kami akan bawa ke gedung dewan dan akan kami bahas sesuai mekanisme DPRD. Namun setelah kami mendengar aspirasi masyarakat, sebagai wakil rakyat kami mendukung aspirasi ini. Karena masyarakat menolak perpanjangan Bandara maka kami dari DPRD juga menolak rencana itu,” tuturnya dalam sebuah pertemuan di Kantro Kelurahan Karang Tumaritis Nabire besama warga.

DPR bahkan berencana mengunakan hak interflasinya untuk memangil bupati dan kepala dinas perhubunagan untuk meminta kelarifikasi atas rencana perpanjangan bandara yang suda jelas ditolak oleh masyarakat.
Wakil Ketua Komisi A DPRD kabupaten Nabire Drs. A. P. Youw Juga menyatakan penolakannya. Menrut sosok yang perna menduduku jabatan bupati selama dua periode di kabupaten nabire ini, jika proses perpanjangannya terus dilakakuna, ada tiga hal yang harus diperhatikan. 

Pertama, jika terus dilakukan perpanjangan, pesawat ukuran besar yang mendarat akan terhalang gunung yang terletak di belakang Bataliun 753 Nabire. Kedua, biaya yang dikeluarkan pun akan jauh lebih besar. Pemerintah harus merelokasi penduduk yang suda bertahun-tahun tingal di tiga kampung, menganti rugi tanah, rumah dan fasilita sosial seperti gereja, masjid, rumah sakit, dan lain-lain. Ini akan makan biaya banyak. Ketiga, sebuah bandara tidak layak berada di tengah kota, diantar pemukiman warga. 

Ia juga menjelaskan bahwa pemeritah pada masa kepemimpinannya suda menyiapkan lokasi pembangunan bandara baru di Kaladiri. Lahan ini suda melewati presentase dan uji kelayakan. Disamping itu juga telah dilakukan pembayaran hak ulayat. Bupati yang baru tingal meneruskan. 

Dengan didukung dana bantuan baik dari pemerintah provinsi maupun pusat serta suasta bandara baru dikaladiri itu bukan mustahil untuk diwujutkan tandasnya. 

Jadi, apa program ini harus dilanjutkan?


Begitu Sudah
Berbagi Itu Selalua Indah

9/29/11

Hutan Bakau Penjaga Pulau

KAWASAN hutan bakau membentang seluas 22 hektare, menyebarkan kesejukan ke berbagai penjuru. Tak sekadar tumbuhan mangrove yang hidup di sana, suara monyet berhidung mancung, bekantan, bersahut sahutan dengan suara siulan burung. Suasana tersebut bukan di suaka margasatwa yang jauh dari keramaian manusia. "Daerah itu andalan kota pulau semacam Tarakan," kata Gani Abdullah, 72 tahun.

Bagi warga Sebengkok yang lahir di Tarakan itu, hutan dengan 11 vegetasi mangrove tersebut menyelamatkan tanah dari gerusan air laut serta air bawaan banjir dari daratan. Oleh pemerintah kota, hutan bakau tidak dianggap sebagai kawasan yang tidak bernilai ekonomi sehingga harus ditebang, diuruk, dan diubah menjadi kawasan bisnis. "Karena hutan mangrove ini, Tarakan berkarakter. Karena itu menjadi penanda kota," ujarnya.

Haji Gani, begitu pria ini dipanggil, mengaku perubahan mencolok terjadi saat dokter Jusuf Serang Kasim menjabat wali kota. Tak mengherankan jika wali kota pilihan Tempo 2008 ini menjabat dua periode, sejak 1999 sampai 2009. "Kota terasa sejuk, bersih, ekonomi bergerak, dan terang," kata bekas pengusaha pengangkut sampah Tarakan itu. Memang, Tarakan mendapat kepercayaan diri sejak berubah menjadi kota madya, karena menjadi daerah otonomi. "Pemerintah daerah lebih bebas menggunakan hasil pendapatan daerahnya," tutur Gani.

Terang. Kota itu memang jadi hidup dengan lampu yang menyorot di mana mana. Warga pun merasa aman. Apalagi pemerintah daerah merencanakan kota pulau itu menjadi Singapura mini di Kalimantan Utara. Cita cita itu bukan sekadar omong kosong. Selama periode 2000 2010, ekonomi Tarakan tumbuh 11 persen. "Bidang infrastruktur benar benar dibangun, sehingga roda ekonomi bergerak lebih cepat," ujar Maxi Millianus, 35 tahun, pengusaha jasa pariwisata asal Tulungagung, Jawa Timur.

Saluran air dibangun, jalan diaspal hotmix sampai ke kampung kampung, sekolah, rumah sakit, dan pasar didirikan. Yang paling berubah, menurut Gani, adalah Bandar Udara Juwata. Landasan pacu diperpanjang dan kualitasnya ditingkatkan, sehingga bisa didarati pesawat jenis Boeing dan Airbus yang berkapasitas hingga 300 penumpang.
Selain hutan bakau yang lestari dan menjadi destinasi, ruang terbuka yang menjadi tetenger kota adalah pantai Amal. Pantai landai dengan air laut biru turquoise. Agar bibir pantai tak digerus ombak Laut Sulawesi, pemerintah daerah telah melakukan reklamasi sepanjang 2,7 kilometer.

Laut memang dimuliakan dan menjadi sumber kehidupan. Tarakan, menurut cerita rakyat, berasal dari bahasa Tidung tarak, yang maknanya bertemu, dan ngakan berarti makan. Kawasan tersebut dulu merupakan tempat nelayan istirahat makan dan jual beli hasil tangkapan. Tak mengherankan jika perputaran roda ekonomi itu menarik banyak orang dari luar pulau itu.

Lalu Tarakan berkembang menjadi kota penghasil minyak ketika perusahaan minyak Belanda, Bataavishe Petroleum Maatchapij, masuk pada 1896. Bahkan, tatkala Jepang merebut Tarakan pada awal 1944, perusahaan itu masih bisa menghasilkan minyak 350 ribu barel tiap bulan. Baik pemerintah Belanda maupun Jepang mendatangkan pekerja minyak dari Jawa.

Kini kota pulau itu bisa dikatakan nyaman huni. Semua yang telah dibangun Wali Kota Jusuf Kasim kini diteruskan wali kota baru, Udin Hianggio. "Semoga wali kota yang baru bisa menjaga dan membuat Tarakan tambah nyaman dan maju," ujar Gani berharap. 

(SUMBER: Majalah Tempoh, 03 Januari 2011)

TARAKAN, KALIMANTAN TIMUR
Luas: 657,33 kilometer persegi
Penduduk: 193.069 jiwa �
Kepadatan: 293 jiwa per kilometer persegi Memiliki 4 kecamatan dan 20 kelurahan/desa
Hari jadi: 15 Desember
Wali Kota: Udin Hianggio

9/14/11

Sebuah Ruang di Kota Bogor

[EBI] Pada suatu pagi, tepatnya pada hari Minggu 27 Maret 2011, saya memutuskan untuk melakukan aktifitas jalan pagi. Saya tahu, warga Kota Bogor, setiap mingu pagi akan melakukan olah raga. Ada yang jalan pagi, ada pula yang jogging atau pun bersepeda. Mereka biasanya berbondong-bondong menuju sebuah lapangan sepak bolah yang terletak di tengah-tengah kota bogor. Saya berpikir hendak jalan pagi menuju ke sana.

Saya tidak punya sepatu sket. Jadi pagi itu saya hanya mengunakan sandal gunung yang selalu saya pake ketika berpergian ke mana saja. Saya juga hanya mengunakan celana pendek yang terbuat dari bahan kain plus baju kaus. Pagi itu, kira-kira jam lima pagi.
Jarak antara kontrakan tempat saya tingal dan lapangan sempur kira-kira sekitar stengah kilo meter. Bagi saya jarak ini tidak terlalu jauh. Saya melalui jalan kecil lalu keluar ke jalan raya Pajajaran, sebuah jalan primer yang selalu ramai dipadati kendaraan. Pagi itu, aktifitas mobil tidak tampak ramai seperti pagi-pagi kemarin. Hanya tampak satu dua mobil yang lalu lalang. Maklum hari minggu adalah hari libur kerja.
Benar, seperti yang saya duga. Pagi itu, saya tidak melakukan aktifitas jalan pagi sendirian. Banyak orang pun melakukan aktifitas yang sama. Mereka berbondong-bondong jalan pagi. Ada pulah yang jogging. Beberapanya lagi tampaknya memilih bersepedah. Mereka semua sama seperti saya, ramai-ramai menuju Lapangan sempur.
Lantas ada apa di lapangan sempur sehinga setiap minggu pagi warga kota bogor berbondong-bondong mengunjungi lapangan sempur? Adakah sebuah magnet yang menarik warga ke sana?
Ruang Terbuka
Lapangan sempur adalah sebuah lapangan sepak bolah di Kota Bogor. Ia terletak di jalan Jalak Harupat, di samping kebun raya bogor, dekat dengan Kali Ciluwung. Lebih tepat lagi terletak di depan hotel sempur park . Di ujung barat lapangan itu terletak sebuah lapangan basket dan wall-climb untuk olah raga panjat tebing. Di ujung kanannya terdapat sebuah lapangan bola Voli. Lapangan ini dilingkari dengan run-track, untuk olah raga atletik: jogging, lari, jalan cepat, dll.
Setiap sore lapangan ini selalu ramai di kunjungi oleh warga Kota Bogor. Mereka yang berkunjung pada sore hari biasanya melakukan olah raga. Ada yang jogging, bermain sepak bolah, dan ada pulah yang bermain bolah voli.
Lapangan ini, akan lebih ramai lagi di kunjungi warga Kota Bogor pada mingu pagi. Seperti yang terjadi pada pagi itu. Hal ini karena tiap mingu pagi lapangan sempur akan berubah menjadi pasar dadakan. Para pedagan kaki lima, pedagangan asongan, maupun pedagan enceran akan menjajakan berbagai barang dagangan, mulai dari berbagai jenis makanan, minuman, pakayan, mainan anak-anak , berbagai jenis baju, cindra mata, berbagai jenis pisau dan masi banyak jenis barang lagi.
Setiap mingu pagi, di lapangan sempur juga biasa diadakan senam pagi bersama. Biasanya kegiatan ini di lakukan di sisi utara lapangan sempur. Ada sebuah pangung yang didirikan di sana sebagai tempat berdirinya pemandu senam pagi memimpin senam mengikuti irama music yang sengaja di stel kencang-kecang. Sedangkan di bagian tengah lapangan biasanya anak-anak kecil akan ramai bermain bola. Mereka tampil bak pemain professional pasalnya mereka mengenakan kostum sepak boleh. Pagi itu, saya asik menyaksikan menonton mereka.
Pada hari-hari libur nasioanl, misalanya setiap tangal 17 Agustus, lapangan sempur selalu di gunakan sebagai lokasi upacara. Kadang kala lapangan sempur juga di adakan sebagai tempat konser music band.
Dalam terminologi keplanologian, lapangan sempur bisa di sebut sebagai ruang terbuka (open space). Ruang terbuka adalah sebuah ruang yang sengaja dirancang khusus sebagai tempat warga berinteraksi satu sama lain. Di sini, warga dari berbagai golongan campur baur melakukan berbagai aktiftas.
Karena berada di lokasi yang terbuka dan di kelilingi dengan berbagai pephonan, tidak dalam satu gedung, lapangan sempur lebih spesifik lagi di sebut ruang terbuka hijau (RTH). Ia masi di kategorikan lagi dalam ruang terbuka hijau public karena kepemilikannya tidak di miliki oleh satu orang, atau satu istansi swasta. Ia bisa dikatakan milik warga kota bogor karena di kelola oleh salah satu dinas pemerintah, Dinas Pemakaman dan Pertamanan Kota Bogor.
Eko Budiharjo, planolog asal ITB, mendefinisikan ruang terbuka sebagai suatu wadah yang menampung aktivitas manusia dalam suatu lingkungan yang tidak mempunyai penutup dalam bentuk fisik (Budihardjo, 1999; 90). Pengertian ini merujuk pada kata terbuka dengan mengartikannya sebagai tempat yang tidak memiliki penutup. Itu berarti masi ada juga ruang tertutup seperti mall, gedung olah raga dan lain-lain yang sengaja di bangun bagi warga kota agar melakukan aktifitasnya di ruang tersebut.
Ruang terbuka hijau, secara umum memiliki empat fungsi yaitu fungsi ekologis, fungsi sosial, fungsi estetis/arsitektural, dan fungsi ekonomi. Secara ekologis RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, menjaga kualitas tanah, menurunkan suhu kota tropos yang panas, dan menggurangi polusi udara. Secara sosial ruang hijau terbuka dapat menjadi tempat berinteraksinya masyarakat dalam satu wadah, wahana rekreasi anak-anak, orang dewasa dan lansia, sebagai identitas kota berbudaya. Dalam hal ini, lapangan sempur suda memainkan fungsingnya seperti yang selalu tampak pada setiap sore maupun setiap mingu pagi. Warga kota bogor, biasanya melakukan aktifitas di sini.

Secara arsitektur, ruang hijau dapat meningkatkan nilai keindahan dan kenyamanan suatu kota. Bayangkan sebuah kota tanpa ruang terbuka berupa taman kota, hutan kota atau jalur hijau kota. Kota seperti ini pasti tak elok dipandang mata dan tidak nyaman untuk dihuni. Lapangan sempur, walaupun tidak sesisnifikan kebun raya bogor yang letaknya bersebelahan, juga suda memberikan sumbangsi dalam mengemban fungsi ini.

Dulu, katanya, lapangan sempur adalah sebuah lahan kosong yang di sulap jadi taman. Seandanya tidak di jadikan taman, setiap harinya mata kita akan selalu dihadapkan pada pemandangan monoton berubah penguna perumahan atau mall yang saat ini mulai marak di Kota Bogor. Jika menghubungkan kata “sengaja dirancang” pada definisi RTH di atas dan Fungsi sosial dari RTH, tampaknya Lapangan Sempur telah berhasil memainkan peranannya. Ini terlihat pada setiap sore maupun tiap hari minggu pagi.

Yang terakhir ialah fungsi ekonomi. Ruang Terbuka Hijau sebenarnya tidak memiliki nilai signifikan secara ekonomi. Ia mungkin hanya bisa miningkatkan harga lahan, dan menjadi tempat warga kota mencari nafka. Seperti yang terlihat pada setiap sore maupun pada setiap hari minggu. Para pedagang di Kota Bogor biasanya menjajahkan berbagai barang dagangan di Lapangan Sempur. Setiap sore, barang-barang yang dijajakan terbatas pada makannan dan minuman. Sedangkan pada mingu pagi dengan muda kita akan menemukan berbagai macam barang, mulai dari pakayan, cindramata, poster, berbagai jenis parang dan pisau hinga berbagai jenis mainan anak-anak.

Di saat seperti ini, ketika pemerinta belum mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi warga negeranya, usaha informal menjadi jalan untuk mendapat penghasilan. Lapangan Sempur dan ruang terbuka hijau lainya biasanya menjadi lokasi pilihan di mana barang dagangan milik para pedagan akan dijual.

****
Pagi itu, saya melihat-lihat barang dagangan yang dijajakan. Saya berkeliling melingkari lapangan sepak bolah, sama seperti para pengunjung lainya. Saya berhenti agak lama di penjual pakaian. Saya tertarik membeli baju di situ. Ada satu baju, di buat oleh parah pengrajin batik di klaten Jawa tengah membuat saya tertraik. Setelah menawarkan harganya, saya membeli baju itu.
Saya pun berhenti di lapangan voli, tempat diadakan pertunjukan topeng monyet. Saya menyaksikannya sebentar. Setelah itu, saya mampir di gerobak burur ayam untuk sarapan. Saya sarapan sendirian. Pagi itu, saya tidak berjumpa dengan orang-orang yang saya kenal. Akhirnya saya pulang dengan berjalan kaki ke kontrakan. Dalam perjalanan pulang saya masi berjumpa dengan orang-orang yang masi berdatangan mengunjungi lapangan sempur. Pagi itu, kira-kira jam stengah delapan***

6/14/11

Planologi dan Papua

Suatu ketika, saya melakukan percakapan dengan seorang sahabat via yahoo messenger. Sahabat saya itu bernama Agustina Dwiningtyas, ia adalah teman saya sewaktu masi SMA. Selama dua tahun, mulai dari kelas dua sampai kelas tiga kami belajar bersama di bangku SMA. Selepasnya, kami tidak lagi bersama-sama.
Dua tahun kemudia, setelah mendapat email sahabat saya itu, akhirnya kami bisa berjumpa lagi melalui dunia maya. Dalam percakapan itu ia bertanya pada saya dengan mengunakan logat papua yang khas,

“Kawan, ko kulia dimana sekarang?, ambil jurusan apa?” 

Tyas adalah orang Jawa. Namun, kalau bicara, logat Papuanya kelihatan. Ia lahir dan besar di Nabire, Papua. Saya membalasnya singkat.

“ Saya kulia di universitas pakuan, mengambil jurusan Planologi?”

Sahabat saya itu sekarang berada di Jakarta. Ia kulia di Universitas Katolik Atma Jaya. Ia mengambil jurusan kedokteran. Berkat otaknya yang encer, sekaligus nasipnya yang mujur, ia mendapat beasiswa dari pihak universitas untuk mengikuti kulia di Program kedokteran. Konon katanya, kesempatan ia peroleh itu ialalah mujizad. Doa Rosario yang ia panjatkan di kabulkan.

“Wou….. ko hebat kawan?” katanya lagi. “Ko bisa ambul jurusan langka tu tra gampang. Trus, di jurusan planologi, kamu suda belajar tentang pohon-pohon apa saja?” Tanyanya penasaran.

Apa, Pohon? Saya agak kaget mendapat pertanyaan itu. Dalam hati, saya tertawa geli. Masa Ia artikan Planologi adalah ilmu yang memperlajari tentang pohon-pohon. Bukankah ilmu yang mempelajari tentang pohon di sebut ARBORICULTURAL atau Geografi Tumbuhan. Tetapi kemudia, saya sadar. Sahabat saya itu bertanya demikian karena satu alasan, ia sama sekali tidak tahu apa itu planologi. Oleh karena itu saya tidak pantas menertawakannya. Ia bertanya karena ia tidak tau. Tugas saya hanya satu, menjelaskan.

Saya berusaha menjelaskan sesuai dengan apa yang saya pahami. Kawan Planologi itu bukan ilmu yang mempelajari berbagai jenis pohon. Plaonolog itu ilmu tentang perencanaan wilayah dan tata kota. Saya belajar bagaimana menata sebua wilayah dan kota dengan memerhatikan berbagai aspek. Baik itu sapek sosial, ekonomi, budaya maupun keadaan fisik suatu wilayah. Memang, dalam perencanaan wilayah dan kota pelajaran kami lebih dititik beratkan kepada asperk fisik keruangan, tetapi, kami tidak bole menyepelekan aspek ekonomi, sosial, budaya dari ruang yang kami tata. Karena ruang kota dan wilayah sesunguhnya hanyalah wada bagi manusia melangsungkan kegiatan ekonomi, sosial dan budaya.

Ou, begitu to. Turs apalagi, saya ingin tau ni? 

Ya, jadi kami belajar untuk melakukan perencanaan agar meminimalisir dampak buruk dari suatu permbangunan. Atau dengan kata lain, kami berusaha melakukan penataan yang memberikan maamfaat bagi semua pihak.

Pembangunan itu pada dasarnya sebuah upaya terorganisr yang dilakukan secara sisitematis oleh manusia agar kehidupan manusia itu sendiri menjadi lebih baik dan lebih berkelanjutan. Jika kita bicara tentang organisir tentu saja ada upaya perencanaan di situ. Perencanaan itu sendiri bisa meliputi banyak aspek. Yang kami pelajari adalah perencanaan wilayah dan kota. Atau dengan kata lain, kami membahasa masalah perkotaan dalam kaitannya dengan wilayah.

Di lain pihak, sumberdaya alam yang kita milik ini sesunguhnya terbatas. Jika terus dieksploitasu lama kelamaan akan bisa habis juga. Oleh karena itu, kita harus melakuan perencanaan agar SDA yang kita miliki tidak langsung dieksploitasi.

Ouw, gitu ya. Berarti kalian belajar semua ilmu k?

Ya, benar sekali kawan. Pada dasarnya planologi ialah ilmu aplikatif yang mengabungkan berbagai macam disiplin ilmu. Singkat kata, Planologi itu multi disiplin ilmu. Mulai dari geografi, ekologi, statistic, ekonomi, sosiologi, phisikologi, dan sosial dan juga budaya serta ilmu pemetaan. Planolog yanb baik di tuntut untuk memiliki pengetahuan yang cukup tentang berbagai disiplin ilmu itu, tentunya dengan menitik beratkan pada perencanaan wilyaha dan kota.

O, begitu. Baik suda kawan, ko belajar baik suda biar pulang bisa atur kota nabire. Katanya mengakhiri pembicaraan. 

PADA KESEMPATAN yang lain, saya melakukan percekapan dengan Ones Madai. Ia adalah sahabat saya. Ia saat ini sedang kulia di Surabaya dengan mengambil program studi yang sama dengan saya, Planologi.  Dalam percakapan itu, ia bilang ia akan kembali ke Papua dalam waktu dekat untuk melakukan penelitaan. Lokasi yang ia tujuh adalah pulau Duamo, sebuah pulau yang terletak di kaki gunung deyai, tepatnya di Danau Tigi.

Ia bilang, ia ingin mengembangkan pulau ini menjadi sebua objek wisaata budaya dan religi. Ia berharap agar pulai ini bisa memberikan semacam nilai tamba ekonomi bagi masyarakat yang hidup di pingiran Danau Tigi.

Saya sendiri belum perna ke pulai ini. Tetapi saya suda mendengar beragam cerita tentang pulau duamo. Katanya pulai ini menyimpan kecantikan dan keindahan alam yang menakjupkan. Pulau ini juga menyimpan objek wisata religius.

Dalam percakapan via yahoo messenger itu ia menanyakan pendapat saya. “Bagaimana menurut kawan? Saya mau melakukan penelitian di pulau duamo, katanya.”

Saya berpikir sejenak. Saya belum menjadi ahli planologi. Saya juga masi dalam prose belajar. Jadi saya coba menjawabnya singkat. Kawan, melakukan penilitian itu sah-sah saja. Cuma, kalu penelitian itu nantinya menghasilkan produk prencanaan berupa usulan pengembangan Pulau Duamo, satu hal yang harus dihindarkan Jangan sampai usaha yang kita buat justru memarjinalkan penduduk lokal, orang-orang kita sendiri.

Pengembangan Pulau Duamo harus bisa membawa mamfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar. Saat ini, kita bisa lihat, ada empat pulu kabupaten di atas Tanah Papua, tapi apakah semua itu membawa perubahan bagi orang asli Papua. Secara fisik ia. Di tanah Papua mulau muncul pusat-pusat ibu kota kabupaten. Tapi pusat-pusat ibu kota kabupaten ini juga membawa dampak buruk bagi orang papua. Orang Papua semakin tersingkir. Saya pikir, togas kita sebagai calon planolog papua ialah memikirkan agar meminimalisir atau bahkan mengeliminasi dampak –dampak itu. Ini pekerjaan berat.

Ia setujuh dengan pendapat saya. Ia bilang ia juga berpikir seperti itu. Dengan dibukanya kabupaten-kabupaten baru, arus migrasi sangat deras membanjiru tanah papua dan sulit dibendung. Dimana-mana kaum migrant itu militant. Mereka selalu lebih ungul dalam segalah hal. Mulai dari keterampilan yang mereka bawa dan juga modal yang mereka punya dan tentu saja ambisi untuk menguasai. Tugas kita untuk memikirkan semuahnya agar menghindari proses marginalisasi yang terus terjadi. (EBI)****