|
Maxsimus Tipagau Saat di gedung DPRI/Foto FB Maxsimus Tipagau |
Anak Muda itu bernama
Maxsimus Tipagau. Fisiknya tubuhnya tidak jauh berbeda dengan kebanyakan anak muda papua. Kulitnya gelap, rambutnya keriting, tubuhnya kekar. Kalau tersenyum, gigi putih bersihnya selalu menghiasi wajahnya.
Tetapi, Satu hal yang membuatnya tampak berbeda ialah sikapnya. Ia adalah sosok yang energik, pekerja keras dan peduli dengan sesamanya. Ia tidak ingin nasib buruk yang menimpanya semasa kanak-kanak 22 tahun yang lalu, terjadi juga pada saudara-saudaranya sekarang.
Lahir di daerah terpencil dengan beragam pengalaman pahit akibat pelayanan kesehatan yang buruk membuatnya bermimpi untuk mengubah keadaan. Tidak hanya bagi dirinya sendiri tapi juga bagi saudara-saudarinya di Kabupaten Intan Jaya, Papua.
Gara-gara aksi inspiratifnya ini,
detik.com, portal berita paling populer ini mengangkat ceritanya dengan tema muda menginspirasi.
Apa yang Maxsimus Tipagau Lakukan?
Dilahirkan di daerah terisolir pada balik gunung pedalaman Intan Jaya Papua, membuatnya merasakan betul arti penting layanan kesehatan. Kepada detik.com ia bercerita, pengalaman pilunya semasa kecil yang memotifasi dirinya berbuat sesuatu.
Ketika duduk dibangku SD kelas 4, ayahnya berburu dengan mendaki gunung es puncak Jaya. Sebuah rutinitas yang sering dikerjakan. Tetapi naas, suatu ketika, ayah
Maxsimus Tipagau jatuh dan mengalami patah tulang.
“Bapak saya dulu gemar mendaki hingga puncak gunung es, berburu dia. Sejak dulu dia mendaki. Sampai suatu saat dia jatuh dan patah kaki," katanya.
Setelah itu, karena tidak ada pelayanan kesehatan, patah tulang kaki yang dialami Ayah
Maxsimus Tipagau tak bisa ditangani pelayanan medis. Dua tahun ia menderita. Akhirnya meninggal dunia.
Dua tahun berselang, Ibunya pun meninggal dunia karena dipukul orang. Pukulan yang keras menghantam perut ibunya. Rahim ibu pecah. Karena tidak ada perawatan kesehatan ibunya pun terpaksa menghembuskan napas terakhir.
Cerita sedihnya tidak sampai disitu. Tidak lama kemudian Adik
Maximus Tipagau pun menyusul kedua orang tuanya. Adiknya menderita gizi buruk hingga tak tertolong.
"Memang paling banyak penderita gizi buruk di Papua. Sampai sekarang masih ada dan paling banyak merenggut nyawa orang kita di sana. Tapi rumah sakit pemerintah tidak menjangkau ke tempat kami," kata Maximus , pria asal Suku Moni ini.
Maksimus hidup sendiri. Sampai akhirnya ia merantau ke tanah jawa, Daerah Istimewa Jogjakarta untuk. Di jogja ia melihat sebuah perbedaan yang amat besar. Ia kaget dengan pembangunan di wilayah timur Indonesia yang jauh lebih baik dibanding dengan bagian barat. Ia ingin tempatnya juga mendapat pelayanan kesehatan yang sama.
“Maka itu saya bertekad kumpulkan uang supaya bisa buat yayasan sosial yang akhirnya sekarang saya bikin program dokter terbang” Katanya.
Apalagi kondisi daerahnya Kabupaten Intan Jaya masih sama seperti masa kecilnya. Tak banyak berubah. Penderita gizi buruk masih tinggi. Belum lagi penderita saluran pernapasan akut dan luka lambung.
Parahnya pelayanan kesehatan masih jarang. Bahkan, katanya rumah sakti masih dianggap mitos: sulit ditemukan. Seolah pemerintah tak hadir di sana.
Padahal Indonesia telah merdeka sejak 70 tahun lalu. Otonomi khusus dengan dana miliaran rupiah telah digelontorkan sejak 2011.
Suda begitu daerah asal
Maxsimus Tipagau yang kaya dengan sumber daya mineral dan tambang telah dimekarkan menjadi kabupaten baru:
Kabupaten Intan Jaya sejak 2008 dari Kabupaten Induk, Kabupaten Paniai. Bahkan Kabupaten Intan Jaya telah memiliki bupati definitif sejak 3 tahun lalu. Ironis!
Neetworking Kunci Keberhasilan
Keprihatinan membuat
Maksimus Tipagau tidak tingal diam. Kecintaannya terhadap tanah kelahiran dan orang-orangnya agar tidak terus hidup tanpa layanan kesehatan membuatnya beraksi.
Bahkan, Pada Pilpres 2014
Maxsimus Tipagau bergabung dengan tim relawan Jokowi. Saat Jokowi berkunjung ke papua, ia sempat menyampaikan harapanya.
Maxsimus Tipagau bahkan sempat menghadiri pernikahan putra sulung Jokowi di solo. Tapi rupanya, keprihatinannya tidak digubris.
"Saya relawan Jokowi dari dulu. Kemarin waktu beliau nikahkan anaknya pun saya datang ke Solo. Saya juga sudah bicarakan tentang kondisi Papua ke beliau dalam setiap kesempatan. Tetapi memang mungkin perlu waktu untuk menyanggupinya," ungkap Maximus, Jumat (3/7/2015).
Dua tahun sebelumnya, tahun 2012 ia mendirikan
Yayasan Sumatoa. Yayasan ini bergerak dibidang sosial untuk memberdayakan masyarakat papua. Yayasan Sumatoa terlibat kerja sama dengan beragam organisasi untuk mengembangkan sektor pendidikan, kesehatan dan ekonomi masyarakat papua.
Lelaki berumur 31,
direktur perusahan swasta bidang pariwisata ini terus bekerja. Bersama sebelas 11 relawan
Maksimus Tipagau pontang-panting cari dana. Setelah kerja keras dan patungan, terkumpul 500 juta. Dana tersebut dipakai untuk mendatangkan dokter dari Jakarta dan Jerman.
Rupanya niat yang tak kenal lelah menemukan jalan bagi
Maxsimus Tipagau dengan program dokter terbangnya. Akhirnya
Yayasan DoketerSHARE, Dokter Peduli, Yayasan yang miliki mimpi yang sama dengan yayasan Sumatoa, menyambut antusias ajakan
Maxsimus Tipagau.
"Adanya masyarakat yang belum pernah menikmati layanan medis sejak Indonesia merdeka adalah suatu kenyataan. Tidak heran jika masyarakat menyambut pelayanan medis Flying Doctors (dokter terbang) dengan penuh antusias.” ucap pendiri Yayasan Dokter Peduli dr Lie A Dharmawan, PhD, FICS, SpB, SpBTKV.
doctorSHARE atau Yayasan Dokter Peduli adalah organisasi kemanusiaan non profit yang bergerak di bidang medis. Organisasi yang berdiri sejak 19 November 2009 ini memiliki berbagai program seperti Panti Rawat Gizi, Rumah Sakit Apung, dan Dokter Terbang.
Akhirnya niat menghadirkan dokter di Kabupaten Intan Jaya untuk melayani masyarakat pun terwujud. Tim Dokter dari Jakarta dan jerman pun bisa didatangkan pada tahun 2015 ini.
Tim melayani masyarakat di Desa Gagemba, Distrik Homeyo dan Desa Bilogai, Distrik Sugapa selama lima hari. Pelayanan medis di Desa Gagemba berlangsung selama tiga hari (24 – 26 Juni 2015) sementara pelayanan medis di Desa Bilogai berlangsung dua hari (27 dan 29 Juni 2015).
Pelayanan medis di kedua lokasi ini berlangsung dengan baik. Secara keseluruhan, tim melayani bedah minor sebanyak 27 pasien dengan 37 kasus. Kasus bedah minor terbanyak antara lain adalah hernia, lipoma, kista ateroma, papilloma, dan korpus alienum.
Tim juga melangsungkan pengobatan umum terhadap 551 pasien dengan penyakit terbanyak meliputi artralgia (nyeri sendi), myalgia (nyeri otot), ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), dermatitis (penyakit kulit), dan vulnus laceratum (luka-luka). Selain itu, tim juga memberikan obat cacing dan vitamin kepada 200 anak.
"Inilah pertama kalinya ada tim medis yang menembus Kabupaten Intan Jaya dan melayani masyarakat di wilayah ini. Setelah sekian lama pasrah, akhirnya mereka seolah mendapat jawaban dari Tuhan. Lebih dari 500 warga berhasil diobati di bawah tenda sederhana," tutur Maximus membenarkan, Selasa (7/7/2015).
"Program ini karena Papua nyaris tidak tersentuh rumah sakit pemerintah. Program ini baru tahun ini, tapi sudah dua kali selesaikan masalah gizi buruk di Papua," katanya pada perbincangan dengan detik.com , Jumat (3/7/2015).
Semoga apa yang dilakukan
Maxsimus Tipagau dapat menjadi teladan bagi banyak orang, lebih khus bagi anak mudah papua dengan kreatifitas dan caranya sendiri-sendiri. Mengingat tanah Papua yang kaya menyimpan beragam persoalan yang menumpuk untuk diselesaikan.
Begitu Sudah
Berbagi Itu Selalua Indah
Sumber:
1 2 3 4 5